Produktivitas dan Jumlah Wirausahawan Indonesia Terendah di ASEAN
Produktivitas bangsa Indonesia masih rendah. Ini tercermin pada TFP (Total Factor Productivity), yang menggambarkan tingkat produktivitas perekonomian suatu bangsa.
“TFP adalah total output/total input faktor produksi. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2019, TFP di ASEAN, Singapura di peringkat-1 (1,51) diikuti Malaysia (1,23), Thailand (1,09), Kamboja (0,78), Laos (0,76), dan Indonesia (0,7),” kata Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University , Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS.
Ia mengemukakan hal tersebut saat memberikan Perkuliahan Umum Mahasiswa/i Institut Teknologi Perkebunan PelalawanIndonesia (ITP2I) dan Politeknik Negeri Padang (PNP) Kelas Pelalawan di Gd Daerah, Area Kantor Bupati Pelalawan, Provinsi Riau, Rabu (16/3).
Prof Rokhmin menyebutkan, jumlah wirausahawan Indonesia terendah di Asia Tenggara. Singapura angkanya 8 persen, artinya jumlah wirausahawan di negara tersebut mencapai 8 persen dari jumlah penduduk. Disusul Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen, dan Indoesia 3,1 persen.
“Global Entrepreneurship Index, hingga 2019, Indonesia berada di urutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN,” ungkap ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu dalam rilis yang diterima Republika.co.id.
Demikian pula data World Digotal Competitiveness, yakni penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan.
“Pada 2021, Indonesia berada pada urutan ke-53 dari 64 negara. Pada 2017-2019, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2019 diurutan ke-50 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN,” papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.
Mengutip data UNCTAD dan UNDP (2021), Rokhmin mengemukakan, implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1 persen; selebihnya (91,9 persen) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. Sementara, Singapura mencapai 90 persen, Malaysia 52 persen, Vietnam 40 persen, dan Thailand 24 persen.
“Jika ingin menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat, Indonesia harus mampu memproduksi barang dan jasa (goods and services) berupa pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, rekreasi, dan energi untuk memenuhi kebutuhan nasional maupun ekspor secara berkelanjutan. Secara potensial, mestinya bangsa Indonesia mampu untuk melakukan hal tersebut,” tegas Rokhmin yang juga penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024
Masukan untuk ITP2I
Dalam kesempatan tersebut, Rokhmin juga memberikan masukan untuk ITP21. Antara lain, pentingnya pendirian program studi (Prodi) baru: (1) “Agribisnis” dan (2) “Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan” terutama “Science and Technology of Changing Planet”.
Kemudian, penambahan Mata Kuliah baru yang wajib diikuti oleh semua Prodi: (1) Teknologi dan Ekonomi Digital (Digitalisasi, IoT, AI, Blockchain, Robotics, Big Data, Cloud Computing, dan Metaverse); (2) Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Pancasila.
“Selain itu, implementasi MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) semaksimal dan sebaik mungkin. Juga, penambahan dan penguatan dosen dan tenaga non-akademik berkelas dunia, serta peningkatan kolaborasi Penta Helix: ITP2I – pemerintah – industri (swasta) – masyarakat – media massa,” paparnya.